Awal februari 2015 lalu ihkwan saya baru selesai menunaikan ibadah umroh. Ornamen dan struktur rumahnya tetap seperti biasa. Tidak ada hiasan dan lampu gemerlap seperti umumnya dikampung yang dirayakan sebagai bentuk syukur karena baru pulang dari tanah suci.
Saat itu saya bersilaturahim selang empat hari dari kedatangnya. ” silahkan dinikmati ini cuma adanya”. Sambil menyodorkan beberapa butir kurma dan air zazam.
“Apa yang paling antum rasakan saat umroh” saya bertanya secara global, karena mau bertanya lebih detil tidak begitu faham. Maklum keinginan untuk ke tanah suci baru terpatri dalam hati.
Dia kemudian bercerita; jika berangkat dari Kampung halamannya bermodalkan pasrah. Sebab uang saku yang dimilikinya sangat terbatas sehingga ikut program “bayar satu berangkat dua “. Dengan menunggu waktu satu tahun lebih. Berbeda dengan masyarakat yang umroh pada umumnya bisa berangkat kapanpun karena biaya sudah lebih dari cukup.
Saat berada di Raudhah area di sekitar mimbar yang biasa digunakan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk berkhutbah. saya mencoba menerobos tempat yang sangat mulia itu. Tempat Rasulullah SAW beribadah, memimpin sholat, menerima wahyu, teriring pula tentunya ibadah para sahabat nan sholeh.
Saya ingin mengikuti jejak para shahabat, thabi’in, dan ulama’ sholeh lainya yang bisa husyuk melaksanakan sholat, menumpahkan rasa dan airmata untuk mengenang dosa, serta menghapuskan salah dari noda hitam yang membintik dalam dada. Namun usahaku selalu gagal karena tidak mudah berada di Telaga surga sana. Saya terlempar saat hendak mendekat. Tadak tahu siapa yang mendorongku. Saya kembali bangkit mencoba menerobos dibalik gerumunan jubah putih dan sorban jamaah lainnya. Namun saya kembali terlempar lebih jauh hingga tiga kali.
Saya sadar akan salah dan dosaku teramat banyak, pernak pernik kehidupan selama ini tak mampu ku hindari, sehingga selalu lalai mengingat dan mendekat Nya. Keangkuhan terhadap orang tuaku selalu melintas karena belum sepenggal galah jasanya kubalas.
Saat itu saya juga teringat pesan guru yang mengajarkan makna kehidupan. Bahwa beribadah tidak cukup hanya dengan shalat, puasa, zakat dan ibadah mahdah lainya termasuk haji dan umroh. Sebab pengabdian tidak cukup hanya dengan lahiriah melainkah juga dengan batiniah.
Saya coba panggil nama kedua orang tuaku dan guruku agar bisa menemaniku, meskipun amanah dan wasiatnya tidak mampu kujalankan semua.
Dengan lirih, pelan, mendalam, sambil kupejamkan mata, kupanggil dengan sekuat tenaga “Abah…….. Tolong kami…. “
Tiba tiba dihadapan saya ada seorang jamaah lain yang memangilku dan membantuku mendekat ke raudah meskipun saya belum mengenalnya. Sehingga saya bisa beribadah disana.
“Assalaamualaikum ” seorang tamu lain datang membuyarkan ceritanya.
Dia cuma berpesan agar jangan tinggalkan orang tua dan guru dalam menjalankan ibadah umroh ataupun haji. Kerena beliau sudah kenal dengan Nya. Sebab tidak cukup hanya dengan memanggil dan menyebut tanpa bersama Nya.
Oleh:Abu Rizqi Mahbubillah
Sumenep, 27 desember 2017.